Sabtu, 08 Agustus 2009

Ramadhan Bulan Membaca

David Efendi)*

Selain melakukan aktivitas ibadah di bulan ramadhan yang sudah menjadi tuntunan sekaligus rutinitas seperti Tarawih, Sahur, tadarus, dan mengikuti ceramah di Masjid dan Musholah. Satu hal yang sering disepelekan adalah perintah dari wahyu pertama Allah yaitu Iqro’ (membaca) yang turun dari langit tepat pada tanggal 17 Ramadhan. Islam sejatinya adalah agama yang paling serius mendorong manusia untuk membaca tapi banyak ironisme justru kelompok diluar islamlah yang sekarang banyak menerpkannya untuk menguasai dunia. Informasi itu telah dikuasasi karena apa? Mereka membaca bahwa umat manusia memang (umat islam) mulai menyadari membaca itu perlu, sehingga dibuatlah tekhnologi yang membuat kita lupa daratan dan lupa lautan, bukan membaca alam semesta, tapi baru belajar mengeja alif, ba, dan seterusnya. Jauh kita tertinggal, bagaimana mengejarnya? Kata Iqro’ ditafsirkan oleh Quraish Shihab sebagai kegiatan membacca, memahami, mengkaji, dan meneliti. Jadi dimensinya termasuk meliputi aktivitas menulis. Sangat luas, bukan hanya mengeja kata-kata. Tanpa membaca hampir dipastikan, umat beragama akan mengalami distorsi menafsirkan ayat, sehingga dalam pelaksanaan amalan itu potensial terhadap defiasi atau ketidaksempurnaan. Tanpa diikuti pembacaan yang kritis atas teks-teks akan membawa akibat taklid dan ikut-ikutan dalam menjalankan perintah agama. Pendek kata bahwa membaca itu hukumnya wajib. Menjadi wajib untuk melaksanakan kewajiban lainnya. Dengan keyakinan demikian, maka kesadaran membaca menjadi bagian yang tak terpisahkan dari aktivisme kehidupan dalam pencerdasan bangsa. Islam itu adalah agama ”bacaan”, perhatikan dari bangun tidur sampai tidur lagi itu semua ada doanya, tafsir al qur-an yang berpuluh jenisnya, dan hadist apakah ini bukan pertanda, bahwa pemuluk Islam harus lebih banyak membaca dan banyak menulis? Karena buku merupakan teman duduk yang paling baik, juga dapat mengusir kesedihan, sebagaimana kata Al-jahizh, ”Buku adalah teman duduk yang tidak akan memujimu dengan berlebihan, sehabat yang tidak akan menipumu, dna teman yang tidak akan membuatmu bosan…”. ilmuwan hebat Islam tentu saja adalah orang-orang yang gemar membaca seperti Imam Al-Ghzali, Ibnu Sina, dll. Membaca dibulan apa saja sangat dianjurkan, di bulan suci apalagi sebab membaca kata Dr. Aidh al-Qarni dapat mengusir perasaan cemas, dapat melatih lidah berbicara lebih baik, mengembangkan akal, dapat menambah daya pengetahuan dan daya ingat, kemampuan analisis, dan juga menambah keimanan seseorang. Di dunia Barat, buku dianggap mempunyai daya revolusi yang cukup besar dalam mengusung peradaban. Barbara Tuchman(1989) , mengatakan Buku sebagai pengusung peradaban. Tanpa buku sejarah diam, sastra bungkam, sains lumpuh, pemikiran macet. Buku adalah mesin perubahan, jendela dunia,“mercu suar yang dipancangkan di samudera waktu”. Tak kalah menarik Francois Mitterand, Presiden Perancis mengatakan bahwa Seseorang kehilangan kontak dengan kenyataan bila tidak dikelilingi buku-buku. Rene Descartes berpesan bahwa Membaca buku bagus itu seperti bercakap-cakap dengan orang hebat dari abad-abad terdahulu. Orang juga dapat memperoleh pendidikan kelas atas dari rak buku sepanjang lima kaki sebagaimana yang dikatakan Charles William Eliot dan cukup menantang apa yang di tulis oleh Thomas Carlyle bahwa Universitas sejati hari ini Adalah sebuah kumpulan buku. Sementara kita, kebanyakan penduduk di negeri ini buku bukanlah sesuatu yang paling berpengaruh, jauh dari itu buku merupakan urusan orang-orang yang belum punya kerjaan. Buktinya? Berapa juta yang sudah membaca buku Soekarno? Buku pendiri bangsa Bung Hatta? Buku novel sejarah karya Pramudya Ananta Tour? Sebegitu tidak pentingkah penuturan tokoh bangsa lewat buku bagi generasi kita?kalau sinetron cinta fitri?lagunya Mbah Surip, jutaan orang yang menyaksikannya secara berulang kali. Inilah problem kita sejatinya. Perlunya refleksi kembali ke yang autentik, sejjatinya Islam itu agama yang pertama mewajibkan manusia membaca, membaca, dan membaca! (Kita masih saja pura-pura tidak dengar dan tidak mau tahu). Mengapa minat baca di Negeri rendah? Pertama, adalah lemahnya kesadaran masyarakat akan tradisi membaca. Sebagai akibatnya adalah rendahnya jumlah bacaan/yang dibaca pelajar di sekolah atau masyarakat. Kedua, adalah akibat budaya pop(hedonis) yang menjadikan pelajara dan remaja lebih memilih media yang visual (baca: TV, video, film Bioskop). Ketiga, lingkungan yang tidak mendukung. Banyak stake holder pendidikan misalnya pemerintahan, depdiknas, NGO, tidak memprioritaskan gerakan membaca sebagai bagian terpenting dalam pendidikan. Stake holder punya orientasi bahwa hanya membaca buku pelajaran yang diujikan dan menentukan kelulusanlah yang perlu disupport. Tiga penyebab ini mengakibatkan Gerakan Membaca mengalami involusi bahkan mati suri. Sadar atau tidak fakta ini merupakan potret buram pendidikan kita, dan harus kita rubah bersama. Ditengah maraknya kapitalisme kebudayaan (komersialisasi Ramadhan) yang mengikis sendi-sendi moralitas, kearifan, dan solidaritas sosial, terlebih dengan datangnya bulan Ramadhan tahun 1428 ini pilihan Gerakan Ramadan Membaca menjadi sangat penting untuk memanfaatkan momentum Ramadhan dengan kegiatan yang mendidik dan mencerdaskan dengan banyak membaca. Ramadhan seharusnya mempunyai esensi yang cukup mendasar akan makna pendekatan diri kepada Allah, mengusung kepekaan sosial, dan ukhuwah bagi sesama sering terlupakan akibat berbagai tayangan yang seolah sangat ”islami”. Kita sangat sedih, karena semakin banyak pemodal yang mengeruk keuntungan dalam memanfaatkan bulan ramadhan tanpa mengedepankan aspek moralitas, humanisme dan kearifan. Untuk menjawab persoalan ini perlu membentuk koalisi kepada lembaga atau perseorangan yang menolak komersialisasi Ramadhan dan untuk itu seruan ini dimaksudkan untuk meng-counter berbagai serangan Industri Ramadhan, produk dari stasiun TV yang seolah religius, sinetron hedonis yang khayal belaka, yang menyerang remaja-pelajar pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Sudah jelas bohong belaka tapi jutaan pula penontonnya, dan dramatisnya itu umat islam yang sedang menjalani puasa biasanya juga keranjingan jadi senetron mania, cintafitriholic dan sebagainya. Dengan menyadari berbagai dampak-potensi komersialisasi Ramadhan dan kapitalisme kebudayaan maka kita perlu menyamakan tekad untuk memberikan solusi melalui Gerakan ”Ramadhan Bulan Membaca” yang mestinya dilakukan oleh organisasi islam sebagai bentuk perlawanan terhadap penetrasi kebudayaan yang merusak sendi-sendi moralitas anak bangsa, membutakan terhadap realitas sebenarnya dengan hiperealitas melalui media, dan nilai-nilai esensi bulan puasa yang mulia menjadi lumpuh. Ketaqwaan berpindah dari hati melalui kitab-kitab suci berganti menjadi layar TV. Padahal sejarah Ghathafan (dari seorang sahabat Nabi) mengungkapkan bahwa,”Semua kebajikan akan lenyap dan sirna kecuali buku-buku.” sukseskan gerakan kita! selamatkan Ramadhan dengan membaca! )

orang kehilangan kontak dengan kenyataan bila tidak dikelilingi buku-buku. Rene Descartes berpesan bahwa Membaca buku bagus itu seperti bercakap-cakap dengan orang hebat dari abad-abad terdahulu. Orang juga dapat memperoleh pendidikan kelas atas dari rak buku sepanjang lima kaki sebagaimana yang dikatakan Charles William Eliot dan cukup menantang apa yang di tulis oleh Thomas Carlyle bahwa Universitas sejati hari ini Adalah sebuah kumpulan buku. Sementara kita, kebanyakan penduduk di negeri ini buku bukanlah sesuatu yang paling berpengaruh, jauh dari itu buku merupakan urusan orang-orang yang belum punya kerjaan. Buktinya? Berapa juta yang sudah membaca buku Soekarno? Buku pendiri bangsa Bung Hatta? Buku novel sejarah karya Pramudya Ananta Tour? Sebegitu tidak pentingkah penuturan tokoh bangsa lewat buku bagi generasi kita?kalau sinetron cinta fitri?lagunya Mbah Surip, jutaan orang yang menyaksikannya secara berulang kali. Inilah problem kita sejatinya. Perlunya refleksi kembali ke yang autentik, sejjatinya Islam itu agama yang pertama mewajibkan manusia membaca, membaca, dan membaca! (Kita masih saja pura-pura tidak dengar dan tidak mau tahu). Mengapa minat baca di Negeri rendah? Pertama, adalah lemahnya kesadaran masyarakat akan tradisi membaca. Sebagai akibatnya adalah rendahnya jumlah bacaan/yang dibaca pelajar di sekolah atau masyarakat. Kedua, adalah akibat budaya pop(hedonis) yang menjadikan pelajara dan remaja lebih memilih media yang visual (baca: TV, video, film Bioskop). Ketiga, lingkungan yang tidak mendukung. Banyak stake holder pendidikan misalnya pemerintahan, depdiknas, NGO, tidak memprioritaskan gerakan membaca sebagai bagian terpenting dalam pendidikan. Stake holder punya orientasi bahwa hanya membaca buku pelajaran yang diujikan dan menentukan kelulusanlah yang perlu disupport. Tiga penyebab ini mengakibatkan Gerakan Membaca mengalami involusi bahkan mati suri. Sadar atau tidak fakta ini merupakan potret buram pendidikan kita, dan harus kita rubah bersama. Ditengah maraknya kapitalisme kebudayaan (komersialisasi Ramadhan) yang mengikis sendi-sendi moralitas, kearifan, dan solidaritas sosial, terlebih dengan datangnya bulan Ramadhan tahun 1428 ini pilihan Gerakan Ramadan Membaca menjadi sangat penting untuk memanfaatkan momentum Ramadhan dengan kegiatan yang mendidik dan mencerdaskan dengan banyak membaca. Ramadhan seharusnya mempunyai esensi yang cukup mendasar akan makna pendekatan diri kepada Allah, mengusung kepekaan sosial, dan ukhuwah bagi sesama sering terlupakan akibat berbagai tayangan yang seolah sangat ”islami”. Kita sangat sedih, karena semakin banyak pemodal yang mengeruk keuntungan dalam memanfaatkan bulan ramadhan tanpa mengedepankan aspek moralitas, humanisme dan kearifan. Untuk menjawab persoalan ini perlu membentuk koalisi kepada lembaga atau perseorangan yang menolak komersialisasi Ramadhan dan untuk itu seruan ini dimaksudkan untuk meng-counter berbagai serangan Industri Ramadhan, produk dari stasiun TV yang seolah religius, sinetron hedonis yang khayal belaka, yang menyerang remaja-pelajar pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Sudah jelas bohong belaka tapi jutaan pula penontonnya, dan dramatisnya itu umat islam yang sedang menjalani puasa biasanya juga keranjingan jadi senetron mania, cintafitriholic dan sebagainya. Dengan menyadari berbagai dampak-potensi komersialisasi Ramadhan dan kapitalisme kebudayaan maka kita perlu menyamakan tekad untuk memberikan solusi melalui Gerakan ”Ramadhan Bulan Membaca” yang mestinya dilakukan oleh organisasi islam sebagai bentuk perlawanan terhadap penetrasi kebudayaan yang merusak sendi-sendi moralitas anak bangsa, membutakan terhadap realitas sebenarnya dengan hiperealitas melalui media, dan nilai-nilai esensi bulan puasa yang mulia menjadi lumpuh. Ketaqwaan berpindah dari hati melalui kitab-kitab suci berganti menjadi layar TV. Padahal sejarah Ghathafan (dari seorang sahabat Nabi) mengungkapkan bahwa,”Semua kebajikan akan lenyap dan sirna kecuali buku-buku.” sukseskan gerakan kita! selamatkan Ramadhan dengan membaca!

)*David Effendi, Mantan Ketua PP IPM (2006-2008), masdavid_4all@ yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar